Trend Payletter Bikin Rakyat Keblinger
Oleh : Tyas Ummu Amira (Pemerhati Masalah Sosial)
Payletter semakin hari kian digandrungi oleh semua lapisan masyarakat. Dikutip dari Liputan6.com, otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, per Ferbuarari 2025 total utang masyarakat Indonesia lewat layanan Buy Now Pay Later (BNPL) atau yang lebih akrab disebut PayLater di sektor perbankan menyentuh angka Rp 21,98 triliun. Meski angka ini sedikit turun dari posisi Januari 2025 yang berada di Rp 22,57 triliun, secara tahunan justru terlihat kenaikan yang cukup signifikan, yakni sebesar 36,60 persen. (11/4/2025).
Jumlah pengguna Payletter naik, tetapi daya beli masyarakat justru terlihat lesu. Dikabarkan dari rri.com, pasca hari Raya Idul Fitri 1446 hijiriah para pedagang di pasar Impres kota Lhokseumawe mengeluh dengan minim nya daya beli masyarakat. Hal tersebut di sampaikan Rahmatsyah, Fungsional Penyuluh Disperindagkop UKM kota Lhokseumawe Saat Dialog Pagi di Pro-1 pada Kamis (10/4/2025).
Sejatinya hal ini menunjukan dua kondisi yang tidak sinkron, kenapa bisa terjadi?
Pada fakta pertama kita melihat pengguna Payletter kian meningkat, tetapi daya beli masyarakat menurun. Jika kita cermati bersama potensi kenaikan penguna Payletter ini karena lifestyle hari ini menuntut untuk semua orang harus menuruti keinginannya, bukan hanya kebutuhan. Sifat hedonistik telah menyakiti mindset masyarakat sekarang. Ditambah stimulus dari tontonan sosmed yang menjadi nutrisi bagi penikmatnya untuk selalu menjadi eksis dan menjadi trend senter di lingkungannya tanpa melihat realitas kehidupannya.
Budaya konsumtif bagi masyarakat negeri ini menjadi sasaran empuk bagi pelaku bisnis di sosmed dan juga platform yang menawarkan kemudahan pembayaran. Paylater sebagai salah satu contoh fitur transaksi keuangan digital yang marak digunakan khalayak, bahkan menegaskan adanya gaya hidup yang menjadi faktor penunjang bagi meningkatnya angka pinjaman masyarakat melalui fitur aplikasi digital tersebut.
Masyarakat memang merasa dimudahkan melakukan transaksi belanja dengan sekali sentuh saja di ponsel pintar mereka. Paylater tidak menjadi satu-satunya fitur yang terdapat di dalam aplikasi belanja online di marketplace. Namun, di dalam aplikasi marketplace yang sama juga terdapat fitur bank online, sehingga masyarakat bisa meminjam uang baik di fitur aplikasi belanja itu sendiri maupun langsung di fitur bank online tersebut.
Dari yang awalnya kebutuhan merembet pada keinginan, sehingga lebih menuruti hawa nafsunya dengan cara hutang via online seperti dalam Payletter. Tak sedikit orang yang akhirnya terjerat dalam pinjol mulai angka receh hingga harus membayar puluhan juta rupiah. Pinjol nyatanya menyusahkan di kemudian hari, terlebih dengan bunga yang tinggi serta penagihan yang tidak ubahnya teror dan berujung kekerasan.
Kasus paling parah mulai depresi hingga aksi bunuh diri. Sebagaimana dalam kasus di Ciputat, suami membunuh istri dan anaknya yang berusia 3 tahun, lalu mengakhiri hidup dengan gantung diri akibat jeratan pinjaman online dan judi online. Hal ini membuat deretan problematika masyarakat kian bertambah krisis, hanya bermula untuk berutang memenuhi kebutuhan dan keinginan harus dibayar dengan nyawanya.
Pada hakikatnya memang masyarakat kita sekarang hidup dalam iklim kapitalis sekuler yang di mana asas kebahagian jasmani sebagai orientasi hidupnya. Dengan kondisi perekomian menurun di mana banyak kepala keluarga yang kehilangan mata pencaharian, biaya listrik, sekolah, kesehatan, pendidikan dan kebutuhan pokok pun naik. Ditambah mindset pemisahan agama dengan kehidupan membuat manusia bebas dalam mengatur kehidupannya.
Kondisi kehidupan sekuler membuat mereka tidak ragu untuk mengambil utang ribawi sebagai solusi dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan. Padahal, itu sama sekali tidak menguntungkan dan justru merugikan mereka sendiri. Akan tetapi, di sisi lain sangat disayangkan ketika sikap konsumerisme tersebut berimplikasi pada peningkatan pembiayaan pinjol ataupun paylater.
Kita tidak bisa menampik bahwa investasi digital adalah bagian dari arus deras pada era ekonomi 4.0. Mengutip data BKPM (8-1-2025), nilai ekonomi digital Indonesia diperkirakan mencapai US$130 miliar pada 2025 dan akan tumbuh hingga US$360 pada 2030. Ini menandakan adanya potensi besar untuk investasi di sektor ini. Bagi para kapitalis, ini adalah lahan subur untuk meraup keuntungan besar.
Dari situ kita bisa menyimpulkan bahwa sistem kapitalis sekuler ini telah membuat kehidupan umat manusia semakin amburadul, dengan himpitan problem kehidupan solusi haram pun jadi pilihannya.
Maka, butuh ada perubahan yang paling mendasar untuk menyelesaikan problematika kehidupan manusia.
Sistem yang shahih hanya dengan sistem Islam. Sistem yang berlandaskan pada aturan Sang Pencipta. Dalam sistem Islam, seorang muslim semestinya mengaitkan setiap aktivitasnya dengan tujuan hidup di dunia, yakni dalam rangka beribadah kepada Allah Taala.
Ini sebagaimana firman Allah dalam ayat, “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS Adz-Dzariyat [51]: 56).
Manusia memiliki orientasi kehidupan yang shahih yakni beribadah kepada Allah sehingga semua aktivitas yang dilakukan harus sesuai dengan hukum syarak. Sebagaimana yang dijelaskan terkait pengelolaan harta, Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah menyatakan di dalam kitab Muqaddimah ad-Dustur Pasal 132, “Pengelolaan kepemilikan terikat dengan izin Asy-Syari‘, baik pengelolaan dalam pembelanjaan maupun pengelolaan dalam pengembangan kepemilikan. Dilarang berlebih-lebihan, menghambur-hamburkan harta, dan kikir.” (Muqaddimah ad-Dustur, 2/33).
Hal ini berhubungan dalam sifat konsumtif yang dilakukan oleh manusia adalah jebakan dan buah busuk Kapitalisme yang membuat mindset manusia kian rakus dan menghambur-hamburkan harta. Hal ini berlawanan dengan sikap seorang muslim sesuai aturan syarak.
Dari sini harus ada institusi negara yang menjadi penjamin serta pelayan bagi rakyatnya agar merasakan kesejahteraan dalam hidupnya. Mulai dari pemenuhan kebutuhan pokok, pelayanan publik yang memadai serta gratis sehingga masyarakat akan tercukupi kebutuhan tanpa harus mencari dengan susah payah apalagi dengan utang berbasis ribawi. Sebab jelas bahwa utang ribawi adalah haram.
Sebagaimana dalam firman Allah yang berbunyi sebagai berikut: "Orang-orang yang memakan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba) maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba) maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS Al-Baqarah [2]: 275).
Khilafah akan merevitalisasi distribusi harta di tengah-tengah umat agar tiap individu umat dapat memiliki harta dan mengatur jenis-jenis kepemilikan sehingga tidak akan terjadi privatisasi kepemilikan umum menjadi kepemilikan individu/swasta. Khilafah memiliki data valid terkait warganya yang berhak mendapatkan pemberian harta dari negara seperti delapan golongan, baik itu berupa harta/uang, modal usaha, maupun tanah untuk dikelola.
Di samping itu Khilafah juga akan menutup berbagai celah masuknya pemikiran asing seperti sikap materialistis, konsumerisme, hedonisme, serta seluruh turunan sekularisme lainnya di berbagai sarana dan media. Dan tak ketinggalan sanksi tegas bagi pelanggar hukum syarak dan dijalankan ke semua warga negara tanpa memandang kelas sosial ataupun jabatan. Sehingga hukum Islam bisa diterapkan secara maksimal dalam seluruh sendi kehidupan dan rakyat menjadi sejahtera di bawah naungan daulah khilafah.
Wallahu alam bishowab.
Posting Komentar untuk "Trend Payletter Bikin Rakyat Keblinger"